Setelah mengunjungi Floriade, keesokan harinya kami bermaksud menengok salju di Perisher setelah malam sebelumnya menginap di rumah Ulil dan Fina. Malam harinya kami dijamu masakan Lombok, kampung halaman Ulil, yaitu ayam masak pedas dan plecing kangkung. Wawaw… Lezat sekaliii… Mereka memiliki dua anak, perempuan dan laki-laki. Yang laki-laki seumuran dengan Kayyis, jadilah mereka main bareng dan tentu saja berantem :))
Kami beristirahat cukup nyaman malam itu dan karena kelelahan, begitu masuk kamar, kami semua langsung tepar. Bahkan Kayyis juga gak banyak cing-cong. Langsung pulas tertidur. Kami berangkat pukul 9 pagi esok harinya, agak kesiangan dari rencana awal, karena yah namanya juga bertemu kawan lama, ngobrol rasanya masih kurang saja. Jadi setelah beres sarapan, kami berangkat. Di tengah perjalanan, kami mencari informasi di sana sini, dan akhirnya memutuskan untuk tidak jadi ke Perisher, tetapi ke Thredbo saja, yang jelas-jelas saljunya masih ada. Konon perjalanan Canberra-Thredbo membutuhkan waktu 2-3 jam, tetapi kayaknya kami lebih dari itu, karena kami banyak berhenti dan masih mencari-cari rute.
Sama seperti perjalanan sebelumnya, sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan yang memanjakan mata. Saaaangat indah, masya Alloh. Saya masih tidak percaya dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri pemandangan yang selama ini paling banter saya lihat dari tv.
Saya masih bertanya-tanya kenapa baru pukul tiga sore kami tiba di Thredbo. Padahal katanya 2-3 jam saja, ya barangkali seperti yang sudah saya sebutkan tadi, barangkali karena kami sempat dua kali berhenti dan rute yang masih meraba-raba. Namun, jujur saja, saat tiba di Thredbo saya sudah mulai kehilangan semangat. Badan sudah terasa lelah dan kepala kuga pusing. Belum lagi meladeni tingkah Kayyis. Tapi Daus masih bersemangat, dan itu bikin saya sadar, oh ya kami kan sedang jalan-jalan dan tak tahu lagi kapan kesempatan begini akan kami alami lagi, jadi saya harus cheer up dan siap bertualang.
Jadi saya setuju untuk naik kereta gantung ke puncak Thredbo meski tarifnya lumayan mahal, tapi kapan lagi? :)) Kami segera bersiap dengan mengenakan jaket tebal (boleh pinjam :)) ) untuk melawan hawa dingin yang mulai menusuk. Lalu dengan terlebih dahulu naik bus kami menuju ke semacam stasiun kereta gantung. Daus membeli tiket buat kami bertiga dan kami segera naik menuju puncak! Kayyis kegirangan. Dia teriak-teriak, “Snow! Snow!” Sementara Daus yang baru bikin pengakuan jika dia ternyata takut ketinggian, diam kaku tak bergerak tengah mempertahankan nyali. Saya sendiri kedinginan, karena jaket tebal saya tak bisa diritsleting, ya perut saya sudah buncit sekali :)).
Pemandangan selama naik kereta gantung sungguh mengagumkan. Sejauh mata memandang tampak salju menutup sebagian besar tanah di bawah kami. Kami menjumpai beberapa titik yang tak tertutup salju, mengingat musim dingin memang sudah berlalu. Namun soal rasa dingin mah jangan tanya. Pipi saya bak tertampar rasa dingin, tangan mulai baal dan perut mulas. Saya bersyukur tadi Daus maksa-maksa saya supaya mengenakan celana anti-air dan sepatu antidingin, awalnya saya ngeyel, tapi dia tetap maksa. Coba kalo gak, saya sudah pengsan kedinginan. Kayyis yang awalnya kegirangan, belakangan juga mulai menyadari hawa dingin yang menusuk. Dia sibuk minta tangannya digenggam.
Kurang lebih 10-15 menit kemudian, kami tiba di puncak Thredbo. Wooo di atas lebih dingin ternyata. Saya sempat bertanya pada petugas kereta, kira-berapa derajat suhu di sini. Dia bilang ini sekitar minus satu derajat, jika angin berembus jadi minus lima! Euuh! Kami langsung menuju kafe dan memesan kopi untuk menghangatkan diri. Setelah itu keluar dan mencari spot buat foto-foto. Kayyis girang sekali menapak di atas salju, bahkan dia sempat menjilati tangannya sehabis memegang salju. Nak! Please deh :)) Sayangnya, baterai hp kami tak bisa banyak berkompromi, mati saat kami belum puas berfoto, sampai-sampai ada seorang ibu yang menawarkan pada kami untuk memotret menggunakan hpnya. Tentu saja kami tak menolak! Terima kasih banyak….
Setelah dirasa cukup, kami turun menaiki kereta gantung lagi. Saat turun, saya baru sadar bahwa kami ternyata naik begitu tinggi. Whaaa, saya mulai ngeri menatap ke bawah. Jadi saya mencoba mengalihkan perhatian ke yang lain, mengajak Daus dan Kayyis ngobrol hal lain. Ternyata naik kereta gantung tanpa tutup kaca itu lumayan mengerikan! Heuuu…
Saat kami tiba di tempat parkir mobil, jam sudah menunjukkan pukul 4.30 sore. Saya langsung pusing membayangkan panjangnya perjalanan pulang, mana malam hari pula. Tetapi saya langsung mikir, ya sudahlah santai saja, tokh ini perjalanan dan mobil kami sendiri, jika dirasa bosan atau lelah ya tinggal berhenti. Saya menyampaikan hal itu pada Daus, dan dia sepakat.
Perjalanan pulang kami meliputi berhenti dua-tiga kali buat beli makan dan ke toilet; Kayyis yang tertidur yang pas bangun sempat bengong, kok belum sampai rumah juga, lalu rewel dan menolak makan, sampai nangis frustrasi karena ga tahu musti bertingkah apalagi…. Heuuu sabar ya, Nak… Akhirnya setelah sekian lama dan sabar menanti, pukul 11 malam kami tiba di Punchbowl kembali.
Alhamdulillah. What a journey!! Etapi saya berharap suatu saat berkesempatan mengalaminya lagi, tentu saja bukan ke tempat yang sama, tetapi perjalanan serupa, antarnegara bagian di suatu tempat kelak, dengan keadaan yang lebih baik (baca: anak yang sudah besar-besar) hihihi…