Institut Ibu Profesional (IIP)

Saya pertama mendengar tentang IIP dari seorang teman sesama ibu yang biasa antar anak ke playgroup. Saya masih biasa saja, belum ada ketertarikan untuk lebih mencari tahu tentang IIP.

Lama setelahnya, kakak ipar saya bercerita mengenai keikutsertaannya di kelas matrikulasi IIP dan bagaimana hidupnya kini lebih efektif, efisien, dan lebih jelas visinya. Saya jadi tertarik dan bertanya-tanya apa dan bagaimana sih IIP sehingga membuat kakak ipar saya demikian terkesan. Berbeda dengan dulu, kini saya jadi ingin lebih tahu soal IIP.

Saya membuka-buka website IIP dan komunitasnya di Facebook. Saya semakin tertarik dan ingin belajar bersama IIP. Sejak memutuskan menjadi ibu rumah tangga, saya terkadang merasa inferior dan sedikit kehilangan jati diri. Meskipun saya masih bekerja paruh waktu, tetap saja, perasaan ingin lebih mengaktualisasi diri terasa menggebu. Apalagi setelah anak kedua saya sudah semakin besar, saya jadi memiliki waktu luang, dan ingin mencari bakat-bakat dan menggali potensi diri untuk membuat saya merasa lebih berarti dan berguna.

Saya ingin mengenal orang-orang baru di luar “circle” saya. Saya ingin belajar hal-hal baru yang menyenangkan sekaligus menemukan potensi saya. Terima kasih IIP sudah memberi kesempatan pada saya untuk belajar dan tumbuh bersama.

#belajargoogleclass

Edisi Lengkap

Akhir Agustus lalu, Daus kembali dari Australia. Dia sudah menyelesaikan thesisnya, sudah disubmit, dan kini tinggal menunggu hasilnya. Rasanya lega sekali dia sudah kembali. 

Kini keluarga kami lengkap sudah. Kamij “terpaksa” ber-LDR-an lagi sejak Februari lalu, rasanya ternyata tetap berat, meski kali ini saya merasa lebih kuat dan well-prepared dibanding saat Kayyis masih bayi. Tetapi tetap saja, LDR-an itu tidak enak. Sampai-sampai salah seorang teman meledek saya, “Wah jangan-jangan LDR yang dulu jika dianggap ujian, kalian belum lulus, jadi LDR ini edisi remidi.” #eeea

Lalu katanya juga, What doesn’t kill you will likely try again, wahaha… Semoga tidak. Semoga tidak ada episode LDR-an lagi. Kalaupun kami diberi kesempatan tinggal di luar negeri, semoga keadaannya lebih baik lagi. Aamiin. 

  

Dia Delapan Bulan

Bayi kecil itu kini sudah delapan bulan. Perkembangan motoriknya lumayan cepat. Dia mulai merangkak di usia 6 bulan, duduk tegak di akhir usia 6 bulan, di awal-awal usia 7 bulan hingga saat ini dia senang sekali dititah. Perkembangan yang lain dia sudah berdiri pegangan dari posisi duduk. Anak ini ceria dan murah senyum. Awal bulan lalu dia sempat demam karena flu, tapi segera pulih dan hanya minum antipiretik dua kali. Sekarang, dia sedang aktif-aktifnya dan sehat. Alhamdulillah.

Berat badannya sedikit rendah untuk anak usia 8 bulan, bbnya kurang dari 8 kg, hanya 7,8 kg. Menyuapi Afaaf memang sedikit menantang. Bayi ini susah mangap. Dia mingkem rapat saat disuapi, meski jika makanan sudah masuk mulut dia tetap menelannya. Saya masih mencari-cari pola makan dan menu yang tepat yang bisa membuatnya mau makan. Selain soal makan, Afaaf sangat lovable. Ayo, Nak, makan yang banyak supaya tumbuh sehat dan kuat.

  

Dia Empat Tahun

Pada 6 Juni lalu, Kayyis genap berusia 4 tahun. Dia tumbuh tinggi, mulai kehilangan lemak-lemak bayi di pipinya. Dia mulai belajar menulis angka. Dia mulai berbicara dengan lebih jelas. Dia nyaris lulus TT. Dia sangat aktif, sampai-sampai ibunya kerap tidak sabaran. Dia sedang senang-senangnya naik sepeda. Kayyis, maafkan ibu yang sering marah-marah, maafkan ibu yang tidak sabaran. Ibu berjanji akan berusaha lebih baik lagi, dan jadi ibu yang terbaik bagimu.

Selamat ulang tahun, Anakku, jadilah anak yang soleh, penyayang, dan murah hati. Satu hal yang musti kau ingat selalu, Ibu selalu sayang sama kamu.

IMG_8895-0

Cerita Ibu dengan Dua Anak

Dua minggu lalu, Kayyis mendadak demam setelah mandi. Saya menduga barangkali gara-gara dia kelamaan main air. Dari pengalaman demam sebelumnya, dia main di kolam bareng kakak-kakak sepupunya, setelah itu demam dan mual-mual seminggu. Meski demam, Kayyis tidur seperti biasa, tetapi dia agak gelisah dan akhirnya terbangun tengah malam dengan suhu badan di atas 37. Saya memberinya parasetamol, dia tidur lagi dan demamnya turun. Namun, pagi harinya saya kaget mendapati bercak-bercak merah di telapak tangan dan kakinya. Lalu saya memintanya membuka mulut, dan ya, kekhawatiran saya benar, dia terkena HFMD, Hand Foot dan Mouth Disease, atau yang kerap disebut Flu Singapura, meski sebenarnya tidak tepat disebut demikian.

Saya agak syok Kayyis terkena penyakit ini, karena sebelumnya saya hanya mendengar atau diceritai beberapa teman saya yang anaknya terinfeksi virus ini. Kini saat mengalami anak sendiri terinfeksi, saya lumayan tertekan. Namun saya mencoba tenang, saya menelepon seorang teman untuk memastikan dugaan saya, lalu saya juga mencari informasi di internet, kebetulan sekali di time line seorang DSA yang saya follow pernah membahas soal penyakit ini.

Karena disebabkan oleh virus, HFMD tidak ada obatnya, terapinya hanya parasetamol jika anak demam, minum air dan jus buah yang banyak, dan dikasih vitamin. Yang membuat saya agak panik, penyakit ini sangat menular, lewat air liur dan lewat cairan-cairan yang keluar dari tubuh penderita. Saya khawatir sekali Afaaf, adik Kayyis yang baru berusia enam bulan, ketularan. Jadi, malam berikutnya tidur mereka dipisah, yang pada kenyataannya sangat merepotkan karena Afaaf bayi asi banget, dan Kayyis juga minta selalu ditemani Ibu. Jadilah saya ke sana kemari tiap sekian jam sekali.

Kayyis anaknya susah sekali minum obat, dramanya panjang dan kerap bikin saya tidak sabar. Namun, lambat laun dia paham bahwa minum vitamin, minum madu, minum air yang banyak, dan minum jus adalah keharusan. Juga tetap makan meski sedikit-sedikit. Selama sakit bisa dibilang dia kooperatif meski tetap saja ada bumbu-bumbu nangis drama. Alhamdulillah berkat dia mau menuruti apa yang saya sampaikan kepadanya, dia pulih dalam waktu enam hari, yang membuat saya sangat lega, sekaligus bangga karena bisa menghadapi dan melakukan terapi yang tepat buat Kayyis. Tentu saja ada malam-malam di mana saya lumayan frustrasi ketika Kayyis mengerang-ngerang kesakitan mengeluhkan sariawan di mulutnya,sementara Afaaf nangis minta asi. Kalau saya bisa, rasanya ingin membelah diri. HFMD ini meskipun tergolong ringan, tapi sangat kejam menurut saya. Sariawan di bibir saja sakit, apalagi di lidah, ada banyak pula, dan spesifik menyerang anak kecil, yang saya baca-baca sih anak di bawah 10 tahun.

IMG_7995 IMG_8040

Kayyis lumayan cepat sembuh, dari yang saya baca-baca itu bisa sampai 10 hari, entah karena jenis virus yang menyerang memang jenis yang ringan (ada beberapa jenis virus HFMD dari yang ringan sampai yang paling ganas) atau karena Kayyis menuruti terapi yang saya berikan. Saya berterima kasih sekalipada grup mamah-mamah kesayangan di lapak whatsApp yang selalu berbagi informasi, menyemangati, dan membesarkan hati saya. Juga DSA-DSA yang tidak pelit ilmu, yang rajin berbagi di media sosial, mengedukasi para orangtua untuk tidak panik dan sedikit-sedikit membawa anak ke dokter.

Namun, selain hal-hal yang saya sebutkan tadi, kehadiran Afaaf anak kedua kami inilah yang membuat saya merasa lebih pede menjadi ibu. Sangat berbeda dengan pengalaman saat punya Kayyis dahulu, kini saya merasa lebih siap dan well-informed dalam mengambil keputusan yang tepat untuk anak-anak. Sehat-sehat terus ya, Kayyis, Afaaf, kesayangan Ibu. *cium satu-satu.

Cerita 2014

Hari demi hari berlalu demikian cepat. Minggu demi minggu berkejaran, dan bulan demi bulan bersusulan. Mendadak kita tiba di pengujung tahun 2014. Belajar menghikmati peristiwa-peristiwa yang saya alami selama ini, saya mulai percaya bahwa anugerah dan ujian diberikan seiring sejalan. Tuhan memberikan anugerah sekaligus ujian. Itulah mengapa agama mengingatkan, tatkala mendapatkan anugerah kita dilarang sombong, dan sebaliknya saat dikasih ujian kita tak putus harapan.

Tahun 2014 saya habiskan dengan hamil dan mengasuh balita yang sedang aktif-aktifnya serta menemani suami yang sibuk sekali. Jadi secara garis besar, kehamilan ini lumayan penuh perjuangan. Kehamilan ini sungguh suatu anugerah, dan saya anggap sekaligus ujian karena melaluinya tidaklah mudah. Trimester awal saya mabok parah. Tidak hanya mual tapi juga muntah-muntah. Tetapi saya harus bersyukur karena dua trimester selanjutnya saya baik-baik saja. Bahwa bayi saya perempuan seperti harapan saya, adalah anugerah ;))

Pada 24 November 2014 lalu, bayi perempuan kami lahir melalui operasi caesar. Kami memberinya nama Afaaf Mahestri Wajdi, yang artinya kira-kira perempuan solihah yang tangguh. Kami berharap Afaaf menjadi anak yang taat pada agama sekaligus tangguh menjalani kehidupan. Afaaf diambil dari bahasa Arab, sementara Mahestri dari bahasa Jawa.

Saat menjadi ibu dari dua anak inilah saya merasa benar-benar tidaklah gampang menjadi ibu. Kayyis begitu cemburu dengan kehadiran adiknya. Dia tampak sayang tapi tindakannya kerap membahayakan. Pegang kencang-kencang, narik-narik tangan dan kaki, noyor kepala, dan tindakan lainnya yang membuat saya tidak bisa melepaskan Afaaf dari pengamatan saya sebentar saja. Ditambah Afaaf juga sangat demanding, dia maunya digendong dan ditimang-timang. Saya kerepotan sekali karena Daus tak bisa banyak berkontribusi.

Terkadang saya suka bertanya-tanya, kenapa ya kami dikaruniai anak-anak berbarengan dengan kuliah S3 ayahnya? Di saat ayahnya begitu sibuk dan butuh fokus ke kuliahnya? Ya lagi-lagi saya akhirnya berpikir ini adalah anugerah sekaligus ujian. At my lowest point, saya hanya bisa berdoa, semoga kami bisa melalui ujian ini dengan baik, dan segera bisa berbagi peran sebagai orangtua dengan lebih seimbang. Meskipun salah satu di antara kami sangat sibuk, saya ingin anak-anak tetap mendapatkan hak-haknya: perhatian dan kasih sayang dari ayah dan ibu mereka.

Banyak sekali hal-hal berseliweran di otak saya, membuat tulisan ini tak runtut dan tak enak dibaca :)) Maafkan! Btw, hi 2015! Be nice to us! 😀

IMG_4951.JPG

Hamil di Sydney

Saya merasa bersalah pada bayi yang ada di kandungan saya karena selama hamil kedua ini jarang sekali mengupdate perkembangan dan bagaimana saya menjalani kehamilan ini. Benar kata seorang teman bahwa kehamilan kedua itu lebih berat daripada kehamilan pertama karena saat hamil si ibu juga harus mengasuh si kakak. Ditambah lagi, di trimester pertama saya mengalami mabok parah yang tidak saya alami di kehamilan pertama. Yah seharusnya itu tak bisa jadi alasan sih :p.

Baiklah, saya akan memulai cerita mengenai hamil kedua saya di Sydney ini. Jadi, ini adalah hamil kejutan, pernah saya tulis sebelumnya, saya bersyukur sekali dikasih kesempatan buat mengalaminya lagi. Bahwa ini berat, memang iya, tapi bukan berarti saya tak mensyukurinya. Ketika kita tak memikirkan aduh kapan ya saya hamil, biasanya kejadian. Stres memang sangat memengaruhi ternyata.

Karena lupa kapan terakhir saya haid, untuk menentukan usia bayi saya harus usg. Jadi usg pertama adalah untuk mengetahui hal itu. Saya pergi ke klinik dan ketemu GP lalu dirujuk supaya menjalani usg di klinik khusus imaging. Tak seperti di Jakarta yang kalau hamil ya perginya ke dokter kandungan lalu tiap datang di usg. Setelah dua kali datang ke GP–General Practitioner alias dokter umum– kami meminta supaya dirujuk ke hospital mengingat asuransi kami adalah asuransi mahasiswa, yang tak sefleksibel medicare, asuransi warga negara/permanen residen di sini. Jadi kalau ke hospital, konsultasi kami ditanggung penuh oleh asuransi meskipun ongkosnya lebih mahal dibandingkan di GP.

Pertama kali kami datang ke hospital, bukan dokter spesialis kandungan yang kami temui, tapi midwife alias bidan. Jadi, di hospital konsultasi bersama dokter kandungan selama kehamilan hanya sekali atau dua kali. Selain itu, pemeriksaan rutin dilakukan oleh bidan. Kami bertemu Midwife Jenny Childs, bidan khusus yang menangani VBAC–vaginal birth after caesarean. Rupanya karena saya dulu melahirkan secara caesar, saya dirujuk ke dia. Pertemuan pertama ini lumayan menyenangkan. Jenny menjelaskan dan menawarkan kemungkinan vbac pada saya, dan menanyakan hal macam-macam pada saya. Termasuk soal kesehatan mental, apakah saya tengah stress, pernah mengalami depresi, pernah mengalami baby blues, apakah tempat tinggal saya layak, saya cukup makan. Juga apakah suami pernah melakukan kdrt dan yang paling mengejutkan apakah saya punya pasangan berhubungan intim lain. #eeeaa :))

Saat saya menceritakan hal ini pada teman bule Oz saya, dia bilang kalau di Oz ini memang concern banget sama kesehatan mental warga negaranya. Di sini biasanya mental illness paling banyak dialami oleh wanita, dan penyebab utamanya adalah kdrt itu. Berbeda dengan di Indonesia yang masih menganggap urusan mental warga negaranya adalah urusan si warga sendiri, di sini pemerintahnya sangat memerhatikan kesehatan mental sama halnya dengan kesehatan fisik. Tiap-tiap komunitas di suatu council pasti menyediakan pelayanan masyarakat mengenai kesehatan mental. Semoga kelak pemerintah kita juga memiliki concern yang sama.

Sepulang dari visit pertama, saya dibekali banyak sekali buklet dan buku mengenai kehamilan dan menyusui. Selanjutnya, sebulan sekali saya datang ke hospital untuk memeriksakan kehamilan saya. Di minggu ke-19 saya menjalani usg buat mengetahui jenis kelamin. Dan alhamdulillah in syaa Alloh bayi saya perempuan. ;))

Lalu di pertemuan yang kesekian saya berkonsultasi dengan dokter kandungan. Saya seharusnya bertemu dengan dokter Adam Mackie, spesialis vbac. Tapi entah kenapa yang saya temui adalah dokter lain. Jadilah saya dijadwalkan bertemu dengan beliau lagi di pertemuan selanjutnya. Saat akhirnya bertemu dengan dokter Mackie, ia menjelaskan mengenai vbac dengan detail. Termasuk risiko dan sisi positifnya. Saya jadi memiliki gambaran yang lebih jelas, sekaligus menakar kemungkinan keberhasilan saya menjalani vbac. Saya jadi lebih realistis. Awalnya saya bernafsu sekali bisa melahirkan normal, tetapi belakangan saya meminta yang terbaik saja sama Alloh.

Oh ya, dokter-dokter di sini memanggil pasiennya sendiri lho saat mau memeriksa, tak seperti di Indonesia perawatlah yang memanggil pasien. Di unit rawat jalan saya belum pernah menemui perawat. Kalau di klinik-klinik biasa, perawat merangkap sebagai resepsionis yang mendata pasien. Juga menyuntik para pasien atas instruksi dokter. Dengan dokter yang memanggil pasiennya langsung saya melihat kerendah-hatian mereka juga rasa dekat dengan pasien, seolah-olah sudah disentuh langsung sejak pemanggilan nama.

Di sini entah kenapa para bidan dan dokter yang menangani saya tidak terlalu memerhatikan kenaikan berat badan, tidak seperti di Indonesia yang tiap datang selalu ditimbang, yang bikin bumil stress duluan lihat bbnya merangkak naik. Di sini sepertinya bb dianggap urusan pribadi masing-masing. Kalau tidak mau terlalu banyak naik bbnya ya, silakan atur menu sehat sesuai dengan buku panduan yang mereka berikan di awal kunjungan saya ke hospital. Nah kurangnya kontrol dari mereka ini bikin saya santai makan, yang berakibat bb saya naik banyak :)). Saya sempat khawatir soal diabetes gestasional mengingat saya gemar makan camilan dan minuman manis. Tapi alhamdulillah saat minggu ke-28 dicek gula darah, saya baik-baik saja.

Tak terasa waktu berlalu dan besok saya akan menjalani operasi caesar lagi. Jadi rupanya si bayi ini persis dengan kakaknya dulu. Posisinya melintang. Menggantung di tengah-tengah perut saya. Meninggalkan stretch marks di sekitar area udel seluas pulau Kalimantan :)). Pas ditanya kenapa, dokter juga tak tahu jawaban pastinya. Mungkin memang bentuk rahim saya pendek, jadi kepala bayi gak nyaman jika turun ke panggul. Atau tali pusat pendek sehingga bayi lebih nyaman posisi melintang, karena jika turun, dia bisa tercekik. Tapi apa pun, saya percaya ini yang terbaik. Terlepas dari pandangan miring yang kerap menyertai operasi caesar, saya kasih tahu ya, melahirkan secara normal atau secara caesar tidak akan mengurangi esensi menjadi seorang ibu. Lo tetap begadang di minggu-minggu pertama kehadiran bayi, malah dengan lebih menyakitkan karena pemulihan bekas operasi tak seinstan lahiran normal. Saya menerima rezeki saya melahirkan secara caesar.

Semoga semuanya berjalan lancar esok hari. Bayi sehat walafiat, asi lancar, dan saya lekas pulih. Aaamiin YRA. See you tomorrow, Baby girl.

IMG_4771.JPG

Perjalanan ke Thredbo #lanjutan

Setelah mengunjungi Floriade, keesokan harinya kami bermaksud menengok salju di Perisher setelah malam sebelumnya menginap di rumah Ulil dan Fina. Malam harinya kami dijamu masakan Lombok, kampung halaman Ulil, yaitu ayam masak pedas dan plecing kangkung. Wawaw… Lezat sekaliii… Mereka memiliki dua anak, perempuan dan laki-laki. Yang laki-laki seumuran dengan Kayyis, jadilah mereka main bareng dan tentu saja berantem :))

IMG_3528.JPG

IMG_3526.JPG

Kami beristirahat cukup nyaman malam itu dan karena kelelahan, begitu masuk kamar, kami semua langsung tepar. Bahkan Kayyis juga gak banyak cing-cong. Langsung pulas tertidur. Kami berangkat pukul 9 pagi esok harinya, agak kesiangan dari rencana awal, karena yah namanya juga bertemu kawan lama, ngobrol rasanya masih kurang saja. Jadi setelah beres sarapan, kami berangkat. Di tengah perjalanan, kami mencari informasi di sana sini, dan akhirnya memutuskan untuk tidak jadi ke Perisher, tetapi ke Thredbo saja, yang jelas-jelas saljunya masih ada. Konon perjalanan Canberra-Thredbo membutuhkan waktu 2-3 jam, tetapi kayaknya kami lebih dari itu, karena kami banyak berhenti dan masih mencari-cari rute.

Sama seperti perjalanan sebelumnya, sepanjang jalan kami disuguhi pemandangan yang memanjakan mata. Saaaangat indah, masya Alloh. Saya masih tidak percaya dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri pemandangan yang selama ini paling banter saya lihat dari tv.

IMG_4183.JPG

Saya masih bertanya-tanya kenapa baru pukul tiga sore kami tiba di Thredbo. Padahal katanya 2-3 jam saja, ya barangkali seperti yang sudah saya sebutkan tadi, barangkali karena kami sempat dua kali berhenti dan rute yang masih meraba-raba. Namun, jujur saja, saat tiba di Thredbo saya sudah mulai kehilangan semangat. Badan sudah terasa lelah dan kepala kuga pusing. Belum lagi meladeni tingkah Kayyis. Tapi Daus masih bersemangat, dan itu bikin saya sadar, oh ya kami kan sedang jalan-jalan dan tak tahu lagi kapan kesempatan begini akan kami alami lagi, jadi saya harus cheer up dan siap bertualang.

Jadi saya setuju untuk naik kereta gantung ke puncak Thredbo meski tarifnya lumayan mahal, tapi kapan lagi? :)) Kami segera bersiap dengan mengenakan jaket tebal (boleh pinjam :)) ) untuk melawan hawa dingin yang mulai menusuk. Lalu dengan terlebih dahulu naik bus kami menuju ke semacam stasiun kereta gantung. Daus membeli tiket buat kami bertiga dan kami segera naik menuju puncak! Kayyis kegirangan. Dia teriak-teriak, “Snow! Snow!” Sementara Daus yang baru bikin pengakuan jika dia ternyata takut ketinggian, diam kaku tak bergerak tengah mempertahankan nyali. Saya sendiri kedinginan, karena jaket tebal saya tak bisa diritsleting, ya perut saya sudah buncit sekali :)).

Pemandangan selama naik kereta gantung sungguh mengagumkan. Sejauh mata memandang tampak salju menutup sebagian besar tanah di bawah kami. Kami menjumpai beberapa titik yang tak tertutup salju, mengingat musim dingin memang sudah berlalu. Namun soal rasa dingin mah jangan tanya. Pipi saya bak tertampar rasa dingin, tangan mulai baal dan perut mulas. Saya bersyukur tadi Daus maksa-maksa saya supaya mengenakan celana anti-air dan sepatu antidingin, awalnya saya ngeyel, tapi dia tetap maksa. Coba kalo gak, saya sudah pengsan kedinginan. Kayyis yang awalnya kegirangan, belakangan juga mulai menyadari hawa dingin yang menusuk. Dia sibuk minta tangannya digenggam.

IMG_3910.JPG

Kurang lebih 10-15 menit kemudian, kami tiba di puncak Thredbo. Wooo di atas lebih dingin ternyata. Saya sempat bertanya pada petugas kereta, kira-berapa derajat suhu di sini. Dia bilang ini sekitar minus satu derajat, jika angin berembus jadi minus lima! Euuh! Kami langsung menuju kafe dan memesan kopi untuk menghangatkan diri. Setelah itu keluar dan mencari spot buat foto-foto. Kayyis girang sekali menapak di atas salju, bahkan dia sempat menjilati tangannya sehabis memegang salju. Nak! Please deh :)) Sayangnya, baterai hp kami tak bisa banyak berkompromi, mati saat kami belum puas berfoto, sampai-sampai ada seorang ibu yang menawarkan pada kami untuk memotret menggunakan hpnya. Tentu saja kami tak menolak! Terima kasih banyak….

Setelah dirasa cukup, kami turun menaiki kereta gantung lagi. Saat turun, saya baru sadar bahwa kami ternyata naik begitu tinggi. Whaaa, saya mulai ngeri menatap ke bawah. Jadi saya mencoba mengalihkan perhatian ke yang lain, mengajak Daus dan Kayyis ngobrol hal lain. Ternyata naik kereta gantung tanpa tutup kaca itu lumayan mengerikan! Heuuu…

Saat kami tiba di tempat parkir mobil, jam sudah menunjukkan pukul 4.30 sore. Saya langsung pusing membayangkan panjangnya perjalanan pulang, mana malam hari pula. Tetapi saya langsung mikir, ya sudahlah santai saja, tokh ini perjalanan dan mobil kami sendiri, jika dirasa bosan atau lelah ya tinggal berhenti. Saya menyampaikan hal itu pada Daus, dan dia sepakat.
Perjalanan pulang kami meliputi berhenti dua-tiga kali buat beli makan dan ke toilet; Kayyis yang tertidur yang pas bangun sempat bengong, kok belum sampai rumah juga, lalu rewel dan menolak makan, sampai nangis frustrasi karena ga tahu musti bertingkah apalagi…. Heuuu sabar ya, Nak… Akhirnya setelah sekian lama dan sabar menanti, pukul 11 malam kami tiba di Punchbowl kembali.

Alhamdulillah. What a journey!! Etapi saya berharap suatu saat berkesempatan mengalaminya lagi, tentu saja bukan ke tempat yang sama, tetapi perjalanan serupa, antarnegara bagian di suatu tempat kelak, dengan keadaan yang lebih baik (baca: anak yang sudah besar-besar) hihihi…

IMG_4167-0.JPG

IMG_4071-0.JPG